MEMILIH
MISKIN SEBELUM KAYA
Bob
Sadino (Lampung, 9 Maret 1933), atau akrab dipanggil om Bob, adalah seorang
pengusaha asal Indonesia yang berbisnis di bidang pangan dan peternakan. Ia
adalah pemilik dari jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Dalam banyak kesempatan,
ia sering terlihat menggunakan kemeja lengan pendek dan celana pendek yang
menjadi ciri khasnya. Bob Sadino lahir dari sebuah keluarga yang hidup
berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya
meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan
keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan. Bob
kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam
perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih 9
tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam dan juga di
Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan
hidupnya, Soelami Soejoed.
Pada
tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2 Mercedes
miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli sebidang
tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah
beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri. Pekerjaan
pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan adalah menyewakan mobil
Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang menjadi sopirnya. Namun sayang, suatu
ketika ia mendapatkan kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya rusak parah.
Karena tak punya uang untuk memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan menjadi
tukang batu. Gajinya ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat mengalami depresi
akibat tekanan hidup yang dialaminya. Suatu hari, temannya
menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob
tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob
memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa
berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.
Sebagai
peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor.
Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan,
terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya
tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang
asing. Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing
sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan.
Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi
pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik
tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana
dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek. Bisnis pasar swalayan Bob
berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola
kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia
juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah. Bob percaya
bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan
wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik.
Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani
mencari dan menangkap peluang.
Di
saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu
baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang
telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat
rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,”
kata Bob. Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia
langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai
bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai
dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional. Menurut Bob,
banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih,
arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain. Sedangkan Bob
selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.
Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan
pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri.
Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya. Bob
menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem
Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan
kekuatan.
Anak Guru
Kembali
ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan
terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak
bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya,
Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal
dunia ketika Bob berusia 19. Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes
buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang,
Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan
kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya. Suatu
kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita
kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ”Hati saya ikut hancur,” kata Bob.
Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal,
kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris
di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ”Sayalah
kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.” Untuk menenangkan pikiran,
Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono
Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem
Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food,
pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah ”warung” shaslik di Blok M,
Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan
perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging
olahan, dan 100 ton sayuran segar.
”Saya
hidup dari fantasi,” kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua
anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp
1.000 per kilogram. ”Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga
segitu,” kata Bob. Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau
bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang
tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam. Haji
yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz.
Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua
anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar